Jumat, 16 Oktober 2015

EKOLOGI, ILMU LINGKUNGAN, DAN SUMBER DAYA ALAM

TUGAS SOFTSKILL 1 PENGANTAR LINGKUNGAN#
NAMA   : NAUFAL RAFII FARRAS
KELAS  : 2IB06
NPM      : 17414861




BAB I
ASAS-ASAS PENGETAHUAN LINGKUNGAN


A. Pengetahuan Ekologi Dan Ilmu Lingkungan Secara Umum
Ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang hubungan saling ketergantungan dan juga hubungan timbal balik diantara makhluk hidup dengan lingkungan tak hidup dalam satu ekosistem. Istilah Ekologi tersebut berasal dari bahasa yunani yaitu "Oikos" berarti "habitat", dan juga logos berarti "ilmu".
Jadi, Pengertian Ekologi adalah suatu ilmu tentang interaksi makhluk hidup dengan lingkungan. Ekosistem adalah suatu sistem yang terjadi pada suatu hubungan (interaksi) dengan saling ketergantungan pada komponen-komponen di dalamnya, baik  itu makhluk hidup ataupun tidak hidup
Ilmu lingkungan merupakan “ekologi” yang menerapkan berbagai azas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan manusia dengan lingkungannya. Ilmu Lingkungan adalah ekologi terapan. Ilmu lingkungan ini mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup (termasuk manusia) dengan dengan lingkungannya. Ilmu Lingkungan juga dimaknai sebagai suatu studi (kajian) yang sistematis mengenai lingkungan hidup dan kedudukan manusia yang layak di dalamnya. Perbedaan utama “ilmu lingkungan” dan “ekologi” adalah dengan adanya misi untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid), baru, dan menyeluruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia terhadap alam. Misi tersebut adalah untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab, dan keberpihakan terhadap manusia dan lingkungan hidupnya secara menyeluruh.
Ilmu lingkungan merupakan perpaduan konsep dan asas berbagai ilmu (terutama ekologi, ilmu lainnya: biologi, biokimia, hidrologi, oceanografi, meteorologi, ilmu tanah, geografi, demografi, ekonomi dan sebagainya), yang bertujuan untuk mempelajari dan memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan merupakan penjabaran atau terapan dari ”ekologi”.

B. Pengetahuan Ekologi Dan Ilmu Lingkungan Menurut Para Ahli
Selain definisi umum mengenai pengertian ekologi, ada pula pengertian ekologi yang dikemukakan menurut para ahli. Pengertian ekologi menurut definisi para ahli adalah sebagai berikut.

Pengertian Ekologi Menurut Miller (1975)Menurut Miller tentang pengertian ekologi yang menggemukakan bahwa ekologi adalah suatu ilmu mengenai hubungan timbal balik diantara organisme serta sesamanya dan juga dengan lingkungannya.
Pengertian Ekologi Menurut Otto Soemarwoto, pengertian ekologi adalah suatu ilmu mengenaihubungan timbal balik diantara makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya.
Pengertian Ekologi Menurut C. Elton, ekologi adalah suatu ilmu yang mengkaji sejarah alam atau juga perkehidupan alam dengan secara ilmiah
Pengertian Ekologi Menurut Resosoedarmo, pengertian ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan.
Pengertian Ekologi Menurut Andrewartha, ekologi adalah suatu ilmu yang membahas penyebaran dan juga kemelimpahan organisme
Pengertian Ekologi Menurut Krebsekologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji suatu interaksi yang menentukan adanya penyebaran dan juga kemelimpahan organisme
Pengertian Ekologi Menurut Eugene P. Odum, ekologi adalah suatu kajian terstruktur serta fungsi alam, tentang suatu struktur dan juga interaksi diantara sesama organisme dengan  lingkungannya.

C. Perbedaan Ekologi Dan Ilmu Lingkungan
Ilmu lingkungan adalah ilmu yang mempelajari tentang kedudukan manusia yg pantas dilingkungannya. Sedangkan ekologi adalah ilmu yg mempelajari ttg interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antar makhluk hidup dengan lingkunganya. Perbedaannya terletak pada misi utk mencari pengetahuan menyeluruh ttg alam & dampak perlakuan manusia thdp lingkungannya, guna menimbulkan kesadaran dan tggung jwb dalam pengelolaan lingkungan.

D. Asas-Asas Pengetahuan Lingkungan
Ada beberapa asas dalam pengetahuan lingkungan, yaitu:
ASAS 1 menyatakan bahwa semua energi yang memasuki sebuah organisme, populasi, atau ekosistem yang dianggap sebagai energi tersimpan atau terlepaskan. Energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain, serta tidak dapat hilang, dihancurkan, maupun diciptakan.
ASAS 2 menyatakan bahwa tidak ada sistem perubahan energi sangat efisien. Misalnya pada Hukum Termodinamika II yaitu "Semua sistem biologi kurang efisien, kecenderungan umum, energi berdegradasi ke dalam bentuk panas yang tidak balik dan beradiasi menuju angkasa."

ASAS 3 menyatakan bahwa materi, energi, ruang, waktu dan keanekaragaman, semuanya termasuk pada sumber alam.
ASAS 4 menyatakan bahwa semua kategori sumber alam, jika pengadaannya telah maksimal, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam sampai ke tingkat maksimum.
ASAS 5 menyatakan bahwa terdapat dua jenis sumber alam, yaitu sumber alam yang pengadaannya dapat merangsang penggunaan, dan tidak mempunyai daya rangsang penggunaan.
ASAS 6 menyatakan bahwa Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya, cenderung akan berhasil mengalahkan saingannya tersebut.
ASAS 7 menyatakan bahwa kemantapan pada keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam lingkungan yang mudah diramal.
ASAS 8 menyatakan bahwa sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson. Hal tersebut bergantung kepada bagaimana nicia dalam lingkungan hidup dapat memisahkan takson.
ASAS 9 menyatakan bahwa keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomasa dibagi produktivitasnya. Terdapat hubungan antara biomasa, aliran energi, dan keanekaragaman dalam suatu sistem biologi.
ASAS 10 menyatakan bahwa lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa dengan produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot. Sistem biologi menjalani evoluasi yang mengarah pada peningkatan efisiensi penggunaan energi pada lingkungan fisik yang stabil.
ASAS 11 menyatakan bahwa sistem yang telah mantap mengeksploitasi sistem yang belum mantap. Contohnya seperti pada hama tikus, serangga dari hutan rawa menyerang tanaman pertanian dilahan transmigran.
ASAS 12 menyatakan bahwa kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat tergantung kepada kepentingan relatifnya pada keadaan lingkungan.
ASAS 13 menyatakan bahwa ingkungan yang secara fisik telah mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi pada ekosistem yang mantap, serta kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh.
ASAS 14 menyatakan bahwa derajat pola keteraturan naik-turunnya populasi tergantung kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang akan mempengaruhi populasi tersebut.





BAB II
SUMBER DAYA ALAM

A. Pengertian Sumber Daya Alam
Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya.
A. Sumber daya alam berdasarkan jenis

  • sumber daya alam hayati / biotik, adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk hidup. Contoh : tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan lain-lain
  • sumber daya alam non hayati / abiotik, adalah sumber daya alam yang berasal dari benda mati. Contoh : bahan tambang, air, udara, batuan, dan lain-lain
B. Sumber daya alam berdasarkan sifat pembaharuan

  • sumber daya alam yang dapat diperbaharui / renewable, yaitu sumber daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan. Contoh : air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan, dan lain-lain
  • sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui / non renewable, ialah sumber daya alam yang tidak dapat di daur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan sekali saja atau tidak dapat dilestarikan serta dapat punah. Contoh : minyak bumi, batubara, timah, gas alam.
  • Sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya / unlimited, contoh : sinar matahari, arus air laut, udara, dan lain lain.
C. Sumber daya alam berdasarkan kegunaan atau penggunaannya

  • sumber daya alam penghasil bahan baku, adalah sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai gunanya akan menjadi lebih tinggi. Contoh : hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain
  • sumber daya alam penghasil energi, adalah sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi demi kepentingan umat manusia di muka bumi. Misalnya : ombak, panas bumi, arus air sungai, sinar matahari, minyak bumi, gas bumi, dan lain sebagainya.
 



B. Sumber Daya Alam Di Indonesia
Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi.
Sebagai Negara agraris, pertanian menjadi mata pencaharian terpenting bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Luas lahan pertanian lebih kurang 82, 71 % dari seluruh luas lahan. Lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk areal persawahan. Penyebaran produksi padi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa sehubungan dengan tingginya produktivitas dan luas panen dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Produksi pertanian lainnya adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Produksi holtikultura jenis sayur mayur meliputi bawang merah besar, bawang daun, kentang, kubis dan wortel. Sedangkan produksi holtikultura jenis buah-buahan meliputi mangga, durian, jeruk, pisang, pepaya dan salak.
Berdasarkan usia tanaman, perkebunan di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu tanaman semusim (tebu, tembakau, kapas, jarak, sereh wangi, nilam dan rami) dan tanaman tahunan (karet, kelapa, kopi, kelapa sawit, cengkeh, pala, kayu manis, panili, kemiri, pinang, asam jawa, siwalan, nipah, kelapa deres, aren dan sagu). Sebagian besar budidaya perkebunan berupa tanaman tahunan.
Populasi peternakan di Indonesia terdiri atas populasi ternak besar seperti, sapi perah, sapi potong, kerbau, dan kuda. Populasi ternak kecil meliputi: kambing, domba, dan babi. Sementara populasi ternak unggas terdiri dari ayam kampung, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik. Diantara hasil ternak yang saat ini memiliki prospek ekspor adalah kulit olahan (disamak).
Berdasarkan fungsinya, hutan Indonesia dibagi menjadi empat jenis, yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata. Produksi kehutanan berupa kayu hutan, baik kayu bulat, kayu gergajian maupun kayu lapis. Dari hasil hutan tersebut, yang saat ini menjadi produk andalan Indonesia untuk kegiatan ekspor adalah kayu lapis.
Fakta fisik bahwa dua per tiga wilayah Indonesia berupa laut, maka sumber daya alam di laut memiliki potensi yang sangat besar. Selain mengandung minyak, gas, mineral dan energi laut non-konvesional, serta harta karun yang sudah mulai digali meskipun masih terbatas, laut juga menghasilkan ikan yang potensi lestarinya diperkirakan sebesar 6, 4 juta ton per tahun. Saat ini yang baru dimanfaatkan sekitar 70 %. Pengembangan sumber daya kelautan dan perikanan dikelompokkan dalam lima industri kelautan, yaitu industri perikanan, industri mineraldan energi laut, industri maritim, termasuk industri galangan kapal, industri pelayaran (transportasi laut) dan industri pariwisata (wisata bahari dan kawasan konservasi). Saat ini yang menjadi andalan ekspor perikanan Indonesia adalah udang dan Tuna.

Pertambangan dan energi diharapkan menjadi primadona sumber penerimaan devisa, khususnya dari pendapatan ekspor minyak dan gas. Dua komoditi tambang tersebut kuantitasnya sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia, sehingga sering digunakan sebagai asumsi dasar dalam perencanaan APBN. Energi listrik sebagian besar masih diproduksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), sedangkan sisanya oleh perusahaan-perusahaan yang dikelola Pemerintah Daerah, koperasi, atau perusahaan swasta lainnya. Pemerintah juga menggali sumber-sumber energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan kepada BBM. Sumber energi aternatif yang dimiliki dalam jumbal besar adalah gas, batubara, tenaga hidro, panas bumi, dan tenaga surya. Energi alternatif yang saat ini tengah digarap pemrintah adalah energi berbasis nabati atau biofuel dengan bahan dasar tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, tebu, singkong, dan jarak.

Sumber daya alam di Jawa Barat
Sumber daya alam Jawa Barat cukup melimpah. Provinsi ini pada tahun 2006 memiliki lahan sawah ber-irigasi teknis seluas 380.996 ha, sementara sawah ber irigasi setengah teknis 116,443 ha, dan sawah ber irigasi non teknis seluas 428.461 ha. Total saluran irigasi di Jawa Barat sepanjang 9.488.623 km, Sawah-sawah inilah yang pada 2006 menghasilkan 9.418.882 ton padi, terdiri atas 9,103.800 ton padi sawah clan 315.082 ton padi ladang.
Di antara tanaman palawija, pada 2006 ketela pohon menempati urutan pertama. produksi palawija, mencapai 2.044.674 ton dengan produktivitas 179,28 kuintal per ha, Kendati demikian, luas tanam terluas adalah untuk komoditas jagung yang mencapai 148.505 ha, Jawa Barat juga menghasilkan hortikultura terdiri dari 2.938.624 ton sayur mayur, 3.193.744 ton buah buahan, dan 159.871 ton tanaman obat/biofarmaka.
Hutan di Jawa Barat juga luas, mencapai 764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi seluas 362.980.40 ha (9,79%), hutan lindung seluas 228.727,11 ha (6,17%), dan hutan konservasi seluas 172.680 ha (4,63%). Pemerintah juga menaruh perhatian serius pada hutan mangrove yang mencapai 40.129,89 ha, tersebar di 10 kabupaten yang mempunyai pantai. Selain itu semua, ada lagi satu hutan lindung seluas 32.313,59 ha yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III jawa Barat dan Banten.
Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat memetik hasil 200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di provinsi ini setiap tahun sekitar 4 juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar 893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup potensial dikembangkan sebagai aneka usaha kehutanan, antara lain sutera alat jamur, pinus, gerah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet.
Di sektor perikanan, komoditas unggulan adalah ikan mas, nila, bandeng, lele, udang windu, kerang hijau, gurame, patin, rumput laut dan udang vaname. Di tahun 2006, provinsi ini memanen 560,000 ton ikan hasil budidaya perikanan dan payau, atau 63,63% dari total produksi perikanan Jawa Barat.
Di bidang peternakan, sapi perah, domba, ayam buras, dan itik adalah komoditas unggulan di Jawa Barat. Data 2006 menyebutkan kini tersedia 96.796 sapi perah (25% populasi nasional), 4.249.670 domba, 28.652.493 ayam buras 5.596.882 itik (16% populasi nasional). Kini hanya tersedia 245.994 sapi potong di jawa Barat (3% populasi nasional), padahal kebutuhan setiap tahunnya sekitar 300 ribu sapi potong. Untuk memenuhi kebutuhan Jawa Barat harus mengimpor 150 ribu ternak sapi dari Australia setiap tahunnya, di samping berharap pasokan ternak hidup dari provinsi lain terutama Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah lstimewa Yogyakarta, Lampung, Bali, Lombok, dan lain lain. Dalam memaksimalisasi sektor peternaknya, Jawa Barat membagi kawasan pengembangan andalan peternakan ke dalam tiga wilayah, yaitu:
1. Jawa Barat Bagian Utara untuk peternakan itik;
2. Jawa Barat Bagian Tengah untuk sapi perah, ayam ras, dan domba; serta
3. Jawa Barat Bagian Selatan untuk domba dan sapi potong,
Provinsi ini memiliki banyak objek unggulan di bidang perkebunan, antara lain teh, cengkeh, kelapa, karet, kakao, tembakau, kopi, tebu, dan akar wangi. Dari semua jenis komoditas itu, cengkeh, kelapa, karet, kakao, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan nasional asal Jawa Barat. Dari sisi lahan, produktivitas terbaiknya, yakni luas areal tanam sama dengan Iuas tanaman yang menghasilkan, adalah komoditas tembakau dan tebu. Dari sisi produksi, produktivitas terbanyak adalah kelapa sawit (6,5 ton per ha) dan tebu (5,5 ton per ha).
Jawa Barat juga menghasilkan produksi tambang unggulan. Pada 2006, berhasil dieksplorasi 5.284 ton zeolit, 47.978 ton bentonit, serta pasir besi, semen pozolan, felspar dan barn permata/gemstone. Potensi pertambangan batu mulia umumnya banyak terdapat di daerah Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan Sukabumi.

C. Sumber Daya Alam Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor
produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi seringkali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya. (Sadono Sukirno, 1994;10).
Menurut Sadono Sukirno (1996: 33), pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki definisi yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi biasa bersifat positif, negatif atau statis. Pertumbuhan ekonomi dikatakan positif apabila terjadi kenaikan Output Total Ril (OTR) negatif jika terjadi penurunan OTR dan dikatakan statis jika tidak terjadi kenaikan maupun penurunan OTR. Pertumbuhan ekonomi terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatkan hasil produksi dan pendapatan (Djojohadikusumo, 1996:1)
Untuk dapat mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi, maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). PDB atau GDP adalah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu wilayah pada periode tertentu, misalnya satu tahun. (di level provinsi di Indonesia biasanya disebut Produk Domestik Regional Bruto-PDRB)
PDB jika dibagi dengan jumlah penduduk maka menjadi PDB per kapita. Ukuran ini lebih spesifik karena memperhitungkan jumlah penduduk serta mencerminkan kesejahteraan penduduk suatu tempat.
Sumber Daya Alam menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar negara berkembang bertumpu kepada sumber daya alam dalam melaksanakan proses pembangunannya. Namun demikian, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses pembanguan ekonomi, apabila tidak didukung oleh kemampaun sumber daya manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. Sumber daya alam yang dimaksud dinataranya kesuburan tanah, kekayaan mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut.



D. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati Dan Non Hayati
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
1. Sumber daya alam nonhayati (abiotik)
Disebut juga sumber daya alam fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati. Misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
Air
Air merupakan salah satu kebutuhan utama makhluk hidup dan bumi sendiri didominasi oleh wilayah perairan. Dari total wilayah perairan yang ada, 97% merupakan air asin (wilayah laut, samudra, dll.) dan hanya 3% yang merupakan air tawar (wilayah sungai, danau, dll.). Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, kebutuhan akan air, baik itu untuk keperluan domestik dan energi, terus meningkat. Air juga digunakan untuk pengairan, bahan dasar industri minuman, penambangan, dan aset rekreasi. Di bidang energi, teknologi penggunaan air sebagai sumber listrik sebagai pengganti dari minyak bumi telah dan akan terus berkembang karena selain terbaharukan, energi yang dihasilkan dari air cenderung tidak berpolusi dan hal ini akan mengurangi efek rumah kaca.
Angin
Pada era ini, penggunaan minyak bumi, batu bara, dan berbagai jenis bahan bakar hasil tambang mulai digantikan dengan penggunaan energi yang dihasilkan oleh angin. Angin mampu menghasilkan energi dengan menggunakan turbin yang pada umumnya diletakkan dengan ketinggian lebih dari 30 meter di daerah dataran tinggi. Selain sumbernya yang terbaharukan dan selalu ada, energi yang dihasilkan angin jauh lebih bersih dari residu yang dihasilkan oleh bahan bakar lain pada umumnya. Beberapa negara yang telah mengaplikasikan turbin angin sebagai sumber energi alternatif adalah Belanda dan Inggris.
Tanah
Tanah adalah komponen penyusun permukaan bumi .Tanah termasuk salah satu sumber daya alam nonhayati yang penting untuk menunjang pertumbuhan penduduk dan sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis makhluk hidup. Pertumbuhan tanaman pertanian dan perkebunan secara langsung terkait dengan tingkat kesuburan dan kualitas tanah. Tanah tersusun atas beberapa komponen, seperti udara, air, mineral, dan senyawa organik. Pengelolaan sumber daya nonhayati ini menjadi sangat penting mengingat pesatnya pertambahan penduduk dunia dan kondisi cemaran lingkungan yang ada sekarang ini.
Hasil tambang
Sumber daya alam hasil penambangan memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia, seperti bahan dasar infrastruktur, kendaraan bermotor, sumber energi, maupun sebagai perhiasan. Berbagai jenis bahan hasil galian memiliki nilai ekonomi yang besar dan hal ini memicu eksploitasi sumber daya alam tersebut. Beberapa negara, seperti Indonesia dan Arab, memiliki pendapatan yang sangat besar dari sektor ini. Jumlahnya sangat terbatas, oleh karena itu penggunaannya harus dilakukan secara efisein. Beberapa contoh bahan tambang dan pemanfaatannya
2. Sumber daya alam hayati (biotik)
Merupakan sumber daya alam yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, dan manusia.
Tumbuhan
Tumbuhan merupakan sumber daya alam yang sangat beragam dan melimpah. Organisme ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan pati melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan. Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan bahkan kepunahan dan hal ini akan berdampak pada rusaknya rantai makanan. Kerusakan yang terjadi karena punahnya salah satu faktor dari rantai makanan akan berakibat punahnya konsumen tingkat di atasnya. Pemanfaatan tumbuhan oleh manusia diantaranya:

  1. Bahan makanan: padi, jagung,gandum,tebu
  2. Bahan bangungan: kayu jati, kayu mahoni
  3. Bahan bakar (biosolar): kelapa sawit
  4. Obat: jahe, daun binahong, kina, mahkota dewa
  5. Pupuk kompos.

Pertanian dan perkebunan
Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Data statistik pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja di bidang agrikultur. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara ini memiliki lahan seluas lebih dari 31 juta ha yang telah siap tanam, dimana sebagian besarnya dapat ditemukan di Pulau Jawa. Pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditi ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Di samping itu, Indonesia juga dikenal dengan hasil perkebunannya, antara lain karet (bahan baku ban), kelapa sawit (bahan baku minyak goreng), tembakau (bahan baku obat dan rokok), kapas (bahan baku tekstil), kopi (bahan minuman), dan tebu (bahan baku gula pasir).
Hewan, peternakan, dan perikanan
Sumber daya alam hewan dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Pemanfaatannya dapat sebagai pembantu pekerjaan berat manusia, seperti kerbau dan kuda atau sebagai sumber bahan pangan, seperti unggas dan sapi. Untuk menjaga keberlanjutannya, terutama untuk satwa langka, pelestarian secara in situ dan ex situ terkadang harus dilaksanakan. Pelestarian in situ adalah pelestarian yang dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian dengan memindahkan hewan tersebut dari habitatnya ke tempat lain. Untuk memaksimalkan potensinya, manusia membangun sistem peternakan, dan juga perikanan, untuk lebih memberdayakan sumber daya hewan.



E. Landasan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; (3) Undang-undang Nomor  7 tahun 2004 tentang Pengairan; (4) Undang-undang Nomor    tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (6) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air,  ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”
Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian  atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.
Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.

2.   Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan 

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.
Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang.  Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.
Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).
Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi.  Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.


Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.        

3.   Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya  semangat privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidak diakomodatif.
Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.


4.   Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini, cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.
Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.
Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalam pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.
UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.
Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola kegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.
Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak kepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.
Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat sektoral.


5.    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan  Ekosistemnya

Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.
Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX  Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.
Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya alam.
Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumber daya alam (penjelasan Pasal  16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena itulah maka hak  masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.
Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

6. Undang-undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait. 
Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan  hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.
Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu.
Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut.
Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.
Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.
Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang   Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.

Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini  secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.
Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.
Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.
Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam pasal-pasal  Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena  mengingkari pernyataan dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.
Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan  Pasal 10 ayat (1).

Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama.
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).
Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:

  1. Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.
  2. Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan  kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.
  3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.
  4. Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
  5.   Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannya undang-undang seperti berikut:

  • Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
    Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan
    Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).
b. Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.
c. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.
d. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
e. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
f. Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.
Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragaman Hayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.
Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam
Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).

F. Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam
Ekologi adalah suatu kajian studi terhadap hubungan timbal balik (interaksi) antar organism (antar makhluk hidup) dan antara organism (makhluk hidup) dengan lingkungannya.
Faktor-faktor pembatas ekologis ini perlu diperhitungkan agar pembangunan membawa hasil yang lestari.Hubungan antara pengawetan ekosistem dan perubahan demi pembangunan demi pembangunan ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu :

  1. Kebutuhan untuk memperhatikan kemampuan untuk membuat pilihan penggunaan sumber alam di masa depan.
  2. Kenyataan bahwa peningkatan pembangunan pada daerah-daerah pertanian tradisional yang telah terbukti berproduksi baik mempunyai kemungkinan besar untuk memperoleh pengembalian modal yang lebih besar dibanding daerah yang baru.
  3. Kenyataan bahwa penyelamatan masyarakat biotis dan sumber alam yang khas merupakan langkah pertama yang logis dalam pembangunan daerah baru, dengan alasan bahwa sumber alam tersebut tak dapat digantikan dalam arti pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia, dan kontribusi jangka panjang terhadap pemantapan dan produktivitas daerah (Dasmann, 1973).
Seperti pernyataan diatas, Sumber daya alam ini adalah energi yang sifatnya tidak dapat digantikan. Proses penggantian ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Hampir setiap waktu sumber daya alam ini tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Beberapa sampel yang bisa kita lihat bahwa sember daya alam ini tak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari.
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang “intangible” yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) dan jaringan saling berhubungan (interkoneksi) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan pendekatan informal, misalnya dengan membentuk “Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah” atau “Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah” yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada.




G. Daya Dukung Lingkungan
Menurut Soerjani et al. (1987), pengertian daya dukung lingkungan adalah batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat jumlah populasi tidak dapat didukung lagi oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada. Menurut Khana dalam  KLH (2010) daya dukung lingkungan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan hasil atau produk di suatu daerah dari sumber daya alam yang terbatas dengan mempertahankan jumlah dan kualitas sumberdayanya.
Sesuai dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung lingkungan tidak hanya diukur dari kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam dalam mendukung kehidupan manusia, tetapi juga dari kemampuan menerima beban pencemaran dan bangunan.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU No. 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Sedangkan menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Definisi Daya Dukung Lingkungan/Carrying Capacity yang lain adalah sebagai berikut:
a.  Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
b. Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
c.  Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut
d. Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
e.  Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya. Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.
Dengan demikian, daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).



H. Keterbatasan Kemampuan Manusia
Ekologi pada mulanya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh manusia sejak pertama kali dia hidup didunia. Namun, munculnya istilah ekologi berdasarkan prakarsa biolog Jerman yang memperkenalkan istilah ekologi adalah Ernest Haeckel (1834 – 1919) pada tahun 1860. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu “oikos” yang berarti rumah, tempat tinggal, habitat dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah ekologi adalah ilmu tentang mahkluk hidup dalam rumahnya, atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup. Banyak yeng mendifinisikan ekologi, menurut Kendeiihgh (1980) ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme yang satu dengan yang lainnya. Di dalam Webmaster Unabridged Dictionary, ekologi disebut sebagai totalitas atau pola hubungan antara organisme-organisme dengan lingkungannya. Lingkungan di sini adalah gabungan dari komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme.Menuru Miller (1975), ekologi adalah ilmu mengenai hubungan timbal balik antara organisme dan sesamanya serta dengan lingkungan tempat tinggalnya dan  menurut Odum, (1971) ekologi adalah suatu studi yang mempelajari struktur dan fungsi ekosistem. Struktur di sini menunjukan suatu keadaan atau susunan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu. Keadaan itu termasuk kepadatan/kerapatan, biomassa, penyebaran potensi unsur-unsur hara, energi, faktor-faktor fisik dan kimia lainnya yang menberi karakteristik kondisi sistem tersebut yang kadang-kadang mengalami perubahan. Sedangkan fungsinya menggambarkan peran setiap komponen yang ada dalam sistem ekologi atau ekosistem. Jadi pokok utama ekologi adalah mencari pengertian bagaimana fungsi organisme di alam.
Ekologi berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan kehidupan (peradaban) manusia, seorang yang belajar ekologi sebenarnya bertanya tentang berbagai hal berikut : bagaimana alam bekerja, bagaimana proses adaptasi dapat berlangsung, apa yang diperlukan oelh organisme dan apa pula yang dihasilkannya, bagaimana mereka berinteraksi dengan spesies lainnya, dan bagaimana individu-individu dalam spesies diatur sebagai populasi serta bagaimana pula eksotisme yang dimuculkan.
Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan hidup meliputi komponen abiotik dan biotik yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk suatu sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Suatu ekosistem akan menjamin keberlangsungan kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari kebutuhan organisme. Maka keberadaan komponen-komponen tersebut ada yang senatiasa tersedia dan ada yang terbatas. Seperti populasi beberapa jenis flora ataupun fauna (biotik) yang akhir-akhir ini punah dan sinar udara (abiotik) yang senantiasa tersedia.




DAFTAR PUSTAKA


http://wahyuda-ekologidanasasasasekologi.blogspot.co.id/2010/10/keterbatasan-manusia-dalam-mengelola.html

http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/08/pengertian-daya-dukung-lingkungan.html

https://riogumelar27.wordpress.com/2013/01/20/karakteristik-ekologi-sumber-daya-alam/

http://dwinofi.blogspot.co.id/2012/01/hukum-sumber-daya-alam.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam

https://putriprafanda.wordpress.com/2014/06/15/3-1-pertumbuhan-ekonomi-2/

http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-jawa-barat/sumber-daya-alam

http://www.indonesia.go.id/in/potensi-daerah/sumber-daya-alam

http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-sumber-daya-alam-dan-pembagian-macam-jenisnya-biologi.html

http://andriankw.blogspot.co.id/2015/04/asas-asas-pengetahuan-lingkungan.html

http://industri21aini.blogspot.co.id/2013/05/jelaskan-perbedaan-ilmu-lingkungan.html

https://dewiwiliyanti.wordpress.com/2015/03/29/ekologi-dan-ilmu-lingkungan-2/

http://www.pendidikanku.net/2015/03/pengertian-ekologi.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar